07
undefined

KELUARGA SEBAGAI SEKOLAH PERTAMA PEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK UNTUK GENERASI PENERUS BANGSA YANG LEBIH MAJU

Posted in By Unknown 0 komentar



Pada awal penciptaannya manusia terlahir secara fitrah yang dapat diartikan terlahir secara suci, putih, tidak bernoda. Manusia lahir tanpa mengenal suatu apapun, termasuk tidak mengenal siapa yang melahirkannya ke alam semesta ini. Saat dia beranjak dewasa barulah dia mengenal satu per satu siapa orang tuanya, siapa keluarganya, berbagai nama buah, berbagai nama binatang dan banyak hal lainnya. Ini membuktikan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan seorang manusia semua berawal dari banyaknya pengetahuan yang dia serap dari keluarga. 
                      Secara historis, keluarga terbentuk atas satuan sosial yang terbatas, yaitu dua orang (laki-laki dan wanita) yang mengadakan ikatan tertentu yang disebut perkawinan. Secara berangsur angsur anggota keluarga semakin meluas, yaitu dengan kelahiran atau adopsi anak-anak. Pada saatnya anak-anak itupun akan melangsungkan ikatan perkawinan sehingga terbentuk keluarga baru. Menurut Burges dan Locke Keluarga adalah susunan orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Syarat terbentuknya keluarga adalah telah dilangsungkannya ikatan perkawinan. Dalam ikatan perkawinan ini antara suami dan istri dipersatukan dalam lembaga yang dilindungi hak dan kewajibannnya. Hasil dari ikatan perkawinan adalah lahirnya anak, mereka juga merupakan anggota keluarga yang mendapatkan perlindungan, pengakuan, serta prestise keluarga.
Begitu penting bahkan dapat dikatakan keluarga merupakan sebuah sekolah pertama yang harus mendidik putra-putri mereka dengan benar, baik secara moral maupun intelektual. Namun, yang terjadi dewasa ini keluarga bukan lagi sebagai pelindung bagi anak-anak mereka, bukan lagi sebagai contoh atau tauladan budi pekerti, dan bukan lagi sebagai pemberi hak/pemenuhan kewajiban kepada anak-anak mereka, bahkan dapat saya katakan dengan jelas disini bahwa dewasa ini keluarga bisa menjadi sebuah “malapetaka” bagi anak-anak mereka.
Dalam setiap harinya, kita dapat melihat bahwa keluarga bukan lagi sebagai pemenuh kewajiban terhadap sang anak tetapi, sang anak yang menjadi pemenuh kebutuhan keluarga. Di setiap harinya tidak jarang kita temui bahkan kita saksikan langsung di perempatan-perempatan lampu merah, di pasar-pasar atau tempat keramaian lainnya berdiri seorang anak kecil dengan usia 5-10 tahun mengadahkan tangannya dan berbekal muka belas kasih berharap kita memberi sedikit uang untuknya lalu setelah itu dia berlari menuju seorang pria/wanita dewasa di sebrang jalan untuk memberi uang tadi. Sudah menjadi hal lumrah juga, seringkali di media cetak maupun media televisi selalu saja mengabarkan adanya tindak kriminalitas yang dilakukan oleh para anak-anak ataupun para remaja dengan umur 12-20 tahun seperti kegiatan mencontek waktu ujian, perkelahian antar teman, pergaulan bebas, pemakaian obat-obatan dan juga aksi pornografi yang pada akhirnya menjadi perusak masa depan mereka.
Saat-saat seperti yang tersebut dalam berbagai contoh di atas, merupakan suatu masa dimana peran keluarga menjadi hal yang sangat penting dan harus lebih di intensifkan dalam pemberian kasih sayang dan pendidikan karakter yang optimal bagi anak-anak mereka. Keluarga menjadi sekolah pertama bagi para penerus generasi bangsa karena, berawal dari keluarga seorang anak akan tumbuh dalam suatu sikap dan kepribadian yang telah di susun rapi oleh keluarga mereka.
Dewasa ini, jika anak umur 10 tahun saja sudah dapat melakukan tindak kegiatan seksual maka semestinya yang patut disalahkan adalah keluarga terutama ayah dan ibunya. Begitupun jika para pejabat-pejabat negeri ini melakukan tindak kriminal layaknya korupsi maka, yang harus dipersalahkan adalah keluarganya karena, dengan jelas disini saya tekankan bahwa keluarga merupakan komponen pertama dalam membentuk kepribadian seseorang.
Pendidikan karakter khususnya, merupakan pendidikan utama yang harus sudah diberikan sebuah keluarga khususnya ayah dan ibu kepada anak-anak mereka sejak anak-anak tersebut berumur 3 tahun. Pendidikan karakter pada anak, membutuhkan waktu lebih lama daripada menempuh pendidikan formal di bangku sekolah. Hal ini disebabkan karena pendidikan karakter dibangun atas dasar sebuah kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang kemudian dapat diterapkan kembali dalam kehidupan si anak dan melalui proses yang alamiah tentunya.
Pendidikan karakter merupakan suatu cara dan usaha untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda bangsa kita. Seseorang di dunia ini tidak akan dapat hidup jika hanya berbekal dengan kemampuan intelektualnya saja, karena tingginya ilmu atau pengetahuan seseorang tetap tidak akan bernilai jika kemampuan intelektualnya tidak berhias dengan kecakapan moralnya dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat sekitar. Banyak orang di Negeri ini yang selalu mengedepankan kemampuan intelektualnya saja, mendewa-dewakan gelar profesornya tanpa menyadari bahwa sesungguhnya dia telah meninggalkan sesuatu yang paling penting dalam dirinya, yaitu kemampuan moralnya.
Tidak ada yang lebih penting untuk dapat hidup di dunia ini, kecuali seseorang yang dapat menghiasi dirinya dengan moral yang baik dan kemampuan intelektual yang memadai. Sekali lagi keluarga menjadi sekolah pertama untuk dapat membentuk kepribadian kepada anak-anak mereka. Saya mengambil contoh pada Negara Nigeria, yang pada tahun 2000 terkenal sebagai Negara terkorup diantara 99 Negara lainnya. Sebuah fenomena yang hampir sama dengan negeri ini, dimana Nigeria memiliki sumber daya alam yang melimpah namun, rakyatnya masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan dikarenakan banyaknya korupsi yang terjadi di kalangan pejabat-pejabat Negara. Masyarakat Nigeria yang berada pada strata atas, hanya mengedepankan pendidikan formal saja karena menurutnya pendidikan formal yang cukup akan mengantarkan mereka untuk mendapat pekerjaan yang layak setelah lulus nanti. Hal ini membuktikan, bahwa pejabat-pejabat Negara yang duduk di kursi pemerintahan tentunya orang-orang yang memiliki kecerdasan atau kemampuan intelektual tinggi tetapi tidak memiliki moral atau budi pekerti yang juga tinggi sehingga terjadilah korupsi yang berimbas langsung kepada masyarakat Nigeria.
Jelaslah sudah, bahwa peran keluarga disini sangat menentukan bagaimana kepribadian dari seorang anak. Sebuah keluarga yang selalu menanamkan kasih sayang, sikap saling menghormati dan menghargai, dan berbagai pendidikan karakter lainnya yang cukup, didukung dengan pendidikan intelektual yang juga memadai maka sebuah keluarga tersebut telah berhasil untuk mendidik anak-anak mereka menjadi generasi penerus bangsa yang bermoral dan berpendidikan tinggi. Dengan begitu, jika semua lapisan masyarakat menyadari betapa pentingnya fungsi sebuah keluarga dalam membangun karakter anak maka, sudah dapat dipastikan generas penerus bangsa ini akan menjadi sebuah generasi emas yang bermoral dan berpendidikan.